Langit di Pangkal Babu pagi itu belum sepenuhnya terang ketika deru ombak perlahan mengusap bibir pantai. Di tengah aroma lumpur dan semilir angin pesisir, tampak sekelompok perempuan duduk melingkar. Tangan mereka lincah bermain malam dan canting, mengguratkan motif-motif alam ke atas kain putih. Di antara mereka, seorang perempuan muda berdiri memberi arahan dengan sabar dan penuh semangat. Dialah Qorry Oktaviani, perempuan visioner dari Jambi yang menghadirkan konservasi mangrove dalam bentuk yang tak biasa—batik.
Awal dari Sebuah Keprihatinan
Qorry bukan seniman batik. Ia lahir dari latar belakang biologi, bukan seni. Tapi justru dari kedalaman ilmu itulah ia menyadari betapa rentannya ekosistem pesisir, khususnya hutan mangrove di Jambi, terhadap kerusakan. Saat bekerja sebagai fasilitator lapangan di LSM yang fokus pada pelestarian lingkungan, ia menyaksikan sendiri bagaimana pohon-pohon mangrove ditebang, lahan dialihfungsikan, dan warga sekitar perlahan kehilangan hubungan dengan alam yang seharusnya mereka rawat.
Qorry sangat menyayangkan jika kita punya sumber daya alam yang luar biasa, namun belum sepenuhnya dipahami nilainya. Dari keresahan itu, tumbuh satu pertanyaan besar dalam benaknya: Bagaimana caranya agar mangrove tak hanya dilihat sebagai hutan yang harus dijaga, tapi juga bisa memberikan manfaat nyata secara ekonomi bagi masyarakat sekitar?
Pewarna dari Hutan, Motif dari Kehidupan
Jawaban dari pertanyaan itu muncul dengan sederhana—melalui secarik kain. Qorry menemukan bahwa buah pidada, kulit kayu bakau, dan beberapa bagian tumbuhan pesisir lainnya dapat menghasilkan warna-warna alami yang unik. Warna tanah, merah kecokelatan, abu kehijauan—semua datang langsung dari alam tanpa bahan kimia.
Tak sekadar pewarna, Qorry juga menciptakan motif-motif batik yang sarat makna: akar bakau yang mencengkeram kuat seperti fondasi kehidupan; burung-burung air yang terbang bebas, simbol kebebasan dan harapan; bahkan cap jejak kepiting yang tersembunyi, sebagai pengingat pentingnya setiap makhluk dalam ekosistem.
Bersama masyarakat Pangkal Babu, ia membentuk kelompok bernama Batik Mangrove. Tak hanya mengajarkan teknik membatik dan membuat pewarna alami, Qorry juga membangkitkan semangat wirausaha lokal. Para ibu rumah tangga yang sebelumnya bergantung pada hasil tambak atau kerja serabutan, kini mulai memegang kuas dan canting sebagai senjata baru untuk menyokong ekonomi keluarga.
Lebih dari Sekadar Kain
Melihat proses pembuatan Batik Mangrove seperti menyaksikan pertunjukan kecil yang mengharukan. Ada ibu-ibu yang memetik daun pidada sambil bercerita tentang masa kecil mereka di pesisir. Ada anak-anak yang dengan polosnya bertanya mengapa warna merah dari mangrove bisa berubah jadi ungu bila dijemur. Ada tawa, ada kerja keras, dan ada kebanggaan—semua berdenyut dalam setiap helai batik yang mereka hasilkan.
Setiap lembar batik yang keluar dari rumah produksi kecil ini tak hanya membawa estetika, tapi juga cerita dan pesan lingkungan. Itulah yang kemudian menarik perhatian berbagai pihak, termasuk Astra melalui ajang Apresiasi SATU Indonesia Awards 2023. Qorry dinobatkan sebagai penerima apresiasi di bidang UMKM/Kewirausahaan—sebuah pengakuan atas dedikasi dan keberaniannya mengubah keresahan menjadi kekuatan.
Dampak yang Tak Terlihat, Tapi Terasa
Apa yang dilakukan Qorry lebih dari sekadar mengajarkan membatik atau membuat pewarna alami. Ia mengubah cara pandang masyarakat. Dulu, mangrove adalah pohon yang dianggap tak berguna, kini ia adalah sumber warna, motif, bahkan inspirasi. Dulu, para ibu rumah tangga tidak pernah membayangkan bahwa tangan mereka bisa menghasilkan karya yang dibawa hingga ke pameran nasional.
Produksi batik kini telah mencapai puluhan lembar per bulan, dengan harga bervariasi antara Rp135.000 hingga Rp350.000 tergantung jenis dan motifnya. Tapi nilai sejatinya tak bisa dihitung dari rupiah. Nilainya ada pada keberlanjutan yang diciptakan—baik untuk alam maupun manusia.
Tantangan dan Asa yang Terus Menyala
Tentu, perjuangan ini belum selesai. Produksi masih terbatas, alat sederhana, dan pasar masih harus terus dijangkau. Tapi satu hal yang membuat semangat itu terus menyala adalah keyakinan bahwa perubahan besar dimulai dari langkah kecil yang konsisten.
Qorry tak berjalan sendiri. Ia menggandeng pemerintah daerah, komunitas lingkungan, bahkan sektor pendidikan untuk memperluas dampak dari gerakan Batik Mangrove. Ia ingin generasi muda tahu bahwa menjaga alam bisa dilakukan dengan cara yang kreatif, dan ekonomi bisa tumbuh tanpa harus merusak lingkungan.
Batik yang Menyuarakan Alam
Melihat batik hasil karya Qorry dan kelompoknya bukan hanya melihat keindahan motif. Kita seperti diajak menyusuri hutan bakau, mencium aroma lumpur, mendengar burung-burung bernyanyi, dan merasakan bagaimana tangan-tangan manusia bisa bersatu dengan alam, bukan untuk mengeksploitasi, tapi untuk menjaga dan merayakannya.
Qorry Oktaviani bukan hanya pengrajin batik. Ia adalah penenun harapan, penyulam cerita, dan penjaga alam dalam wujud yang tak biasa.
#APA2025-KSB
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah meninggalkan komentar. Maaf jika tidak saya publish komentar yang menyertakan link.